Kisah Dua Pematung

Pada sebuah kerajaan, ada sebuah perlombaan mematung. Pada hari terakhir lomba sebagai puncak penentuan pemenang, ada dua orang pematung sebagai "finalis". Keduanya memiliki kemampuan yang nyaris setara. Mereka bisa mencapai babak puncak karena memang menghasilkan karya yang paling baik di antara pematung lainnya.

Pada hari puncak itulah, raja akan mengumumkan siapa orang yang dianggap paling indah karyanya. Untuk itu, keduanya diberi waktu satu minggu penuh untuk menghasilkan karya paling baik. Keduanya lantas berburu batu yang akan diukir menjadi patung indah. Pematung pertama seperti biasa, karena merasa sudah sangat ahli, hanya sembarangan memilih batu. Ia berpikir, kemampuannya mematunglah yang menentukan keindahan patungnya. Sebaliknya, si pematung kedua, bahkan menghabiskan waktu setengah hari lebih lama untuk menemukan batu terbaik yang akan dipahatnya jadi patung indah.

Sampai satu minggu waktu yang ditentukan, keduanya berhasil menciptakan patung yang sekilas sama indahnya. Sang raja pun kebingungan menentukan siapa yang akan jadi pemenang. Namun, setelah melihat lebih detail, sang raja pun memutuskan untuk memberikan predikat pematung terbaik pada pematung kedua. Sebab ternyata, dari patung pertama, batunya ada yang retak sehingga sedikit mengurangi keindahan.

Pematung pertama hanya bisa menyesali keteledorannya sehingga tak bisa jadi pemenang. Tak lama setelah lomba, namanya bahkan segera dilupakan orang. Karena, hanya sang pemenang utama yang namanya terus dielu-elukan.

Kisah tersebut adalah sebuah gambaran, perbedaan sedikit saja, bisa menjadikan pematung pertama jadi golongan “menengah” yang kembali jadi orang biasa. Sedangkan pematung kedua yang jadi pemenang, ia menjadi orang sukses yang namanya selalu dikenang. Semua itu berkat kecintaan dan kepeduliannya untuk memberikan sesuatu yang lebih. Dengan panggilan jiwanya untuk mencari batu terbaik, ia berhasil menjadi orang sukses luar biasa.

Pematung pertama sesuai dengan ungkapan yang disebutkan di awal tulisan ini. Keterkenalannya “dikalahkan” oleh keteledorannya karena belum memberikan yang terbaik pada semua aspek yang dijalaninya.

Begitu pula kita. Banyak di antara kita merasa telah melakukan banyak hal. Sudah melakukan tugas yang diberikan. Tapi, tanpa sadar, belum melakukan hal yang maksimal pada bidang yang kita lakoni sesuai panggilan hati. Padahal, jika kita mau sedikit berkorban—bekerja lebih keras, bekerja ekstra, memberikan tenaga lebih banyak, mencurahkan perhatian lebih banyak, memberikan nilai lebih pada yang dikerjakan—hasilnya bisa jadi akan sangat berbeda. Pematung kedua adalah gambaran orang yang kerap beranggapan: if better is possible, good is not enough

 

If better is possible, good is not enough! –Andrie Wongso”

“Jika lebih baik adalah sesuatu yang mungkin, sehingga baik saja tidak cukup! –Andrie Wongso”

 

 

 

Source : www.andriewongso.com/articles/details/14442/If-Better-is-Possible-2C-Good-is-Not-Enough-21